Inilah 9 Kesalahan Orang Tua Saat Mengasuh Balita | resep.web.id-balita sehat ceria

Inilah 9 Kesalahan Orang Tua Saat Mengasuh <b>Balita</b> | resep.web.id-balita sehat ceria


Inilah 9 Kesalahan Orang Tua Saat Mengasuh <b>Balita</b> | resep.web.id

Posted: 05 Sep 2010 09:51 PM PDT

Kadang anak balita sangat lucu dan menggemaskan, tetapi ada saat-saat mereka sangat menjengkelkan dan Anda ingin menghukumnya. Anak balita bukan seperti mainan yang datang dengan buku manual dan cara pengoperasian. Menjadi orangtua, seperti sering diucapkan oleh orang bijak, adalah pekerjaan yang tak pernah ada hentinya. Berikut adalah 9 kesalahan yang umum dilakukan orangtua kepada anak balitanya:

1. Tidak konsisten
Pernah menyaksikan program Nanny 911 atau Super Nanny? Terlihat betapa sulitnya si kecil diajak kerja sama dan sulitnya mereka menurut jika Anda tidak konsisten dengan perkataan? Ya, anak balita harus mulai belajar mengenai konsekuensi sejak awal. Ia harus mengetahui apa yang akan didapatkan jika tidak pergi mandi atau tidur pada waktu yang seharusnya. Semakin konsisten dan bisa ditebak apa yang akan ia alami jika peraturan tak dipatuhi, semakin mudah anak diajak kerja sama.

Maka, buatlah rutinitas yang tetap untuk si anak. Membuat konsistensi untuk orangtua atau pengasuh anak bisa menjadi tantangan yang amat sulit. Upayakan untuk tidak mencoba melakukan negosiasi dengan anak. Ragu-ragu apa yang harus dilakukan untuk menghadapi anak yang membandel dan tidak menuruti aturan? Duduklah bersama pasangan Anda sejak awal dan bicarakan bagaimana merespons anak yang tak mematuhi peraturan agar si anak tidak mendapat pesan yang salah dan mengadu domba orangtuanya.

2. Terlalu fokus pada waktu keluarga
Memang, menghabiskan waktu berkualitas bersama keluarga adalah hal baik, tetapi ada keluarga tertentu yang terlalu mengultuskan hal ini. Padahal, ada kalanya si anak ingin merayakan waktu pribadi dengan orangtuanya, hanya berduaan atau bertigaan. Waktu berduaan dan pribadi bisa menjadi hal menyenangkan bagi anak dan orangtuanya karena tak ada persaingan di antara saudara kandung. Cara yang bisa mengikat hubungan orangtua adalah bermain bersama.

3. Terlalu sering menawarkan bantuan
Beberapa orangtua menganggap si anak balita masih seperti bayi yang belum mengerti banyak hal sehingga mereka lebih sering memberikan bantuan untuk segala macam. Sebelum menawarkan bantuan, pikirkan kemungkinan bahwa si anak akan berpikir bahwa memberikan bantuan kepada si kecil, itu berarti ia tak bisa melakukannya sendiri. Dengan kata lain, si kecil tak berkompeten. “Orangtua yang menawarkan terlalu banyak bantuan kepada anak balitanya bisa menyabotase kemampuan anak untuk percaya akan kemampuan dirinya sendiri,” terang Betsy Brown Braun, penulis You’re Not the Boss of Me. Kita harus membuat anak mampu berjuang sendiri. Tentu tak ada salahnya memberikan pujian dan dorongan, seperti mengatakan, “Kamu pasti bisa melakukan hal ini.”

4. Terlalu banyak bicara
Perlu diingat, anak balita bukanlah orang dewasa dalam tubuh kecil. Mereka belum paham bagaimana cara berpikir dengan logika. Bayangkan, jika anak berusia 2 tahun minta kue, dan si orangtua menjawab “tidak”, lalu si anak merengek, si ibu menjelaskan bahwa sudah saatnya makan malam, si ibu pun menarik kuenya, lalu mencoba menjelaskan lagi, dan si anak pun merampas, lalu berulang terus.

Yang seharusnya dilakukan orangtua adalah setelah memberi tahu si anak untuk melakukan sesuatu, jangan memaksa untuk menjelaskan segalanya atau mencoba melakukan kontak mata. Jika si anak tak mau mematuhi, berikan peringatan dengan kata-kata sedikit atau hitung hingga 3. Jika si anak masih melanggar, lakukan time out atau konsekuensi langsung. Tanpa penjelasan!

5. Hanya menghidangkan makanan khusus anak
Si kecil sulit diberikan makanan orang dewasa? Atau ia hanya mau makan makanan ringan untuk anak-anak? Hal ini bisa terjadi karena kebiasaan. Cobalah mengajak anak mengonsumsi apa yang Anda makan di meja makan jika ia seharusnya sudah siap makan makanan berat. Banyak anak sudah mau mencoba makanan baru jika ia melihat ayah dan ibunya menikmati makanan itu. Jika ia menolaknya, tetap sodorkan kembali. Beberapa anak balita harus mencoba banyak tipe makanan hingga mereka memutuskan mereka menyukai makanan itu.

Braun mengatakan, banyak anak suka keributan gara-gara makanan. Asalkan ada makanan pada piring si anak, jangan khawatir. Jangan biarkan si anak menjadikan Anda koki khusus untuknya yang menyajikan makanan berbeda daripada yang lain, padahal ia sudah bisa mengonsumsi makanan yang sama dengan orang dewasa.

6. Terlalu dini menyingkirkan tempat tidur bayi
Tempat tidur khusus untuk bayi bukan hanya dibuat untuk menjaga keamanan si bayi saat tertidur, tetapi juga untuk membuat kebiasaan tidur yang sehat. Saat anak terlalu dini dipindahkan ke kasur, mereka bisa sulit tidur, kadang di pengujung malam, mereka akan datang ke kamar orangtuanya, minta ditemani. Saat yang tepat untuk memindahkan anak ke tempat tidur besar adalah saat ia sudah mulai memanjat ingin keluar dari tempat tidurnya atau saat ia sudah minta keluar dari tempat tidurnya tersebut. Kebanyakan anak sudah siap pindah di antara rentang usia 2-3 tahun.

7. Memulai latihan menggunakan toilet terlalu awal
Beberapa orangtua memaksa anaknya menggunakan toilet saat dirasa si anak harusnya sudah belajar, padahal bisa saja si anak belum mau, dan ini bisa mengakibatkan tarik ulur kekuatan. Anak akan belajar menggunakan toilet saat mereka siap dan prosesnya tidak harus diburu-buru. Namun, Anda bisa siapkan langkah-langkahnya. Tunjukkan toilet kepada anak, beri tahu fungsinya dan cara penggunaannya. Beri pujian jika si anak mau mencoba menggunakannya.

8. Tidak membatasi jam nonton televisi
Banyak anak balita menghabiskan waktunya untuk menonton televisi. Hal ini bisa membuatnya sulit belajar. Studi mengatakan bahwa anak di bawah usia 2 tahun sebenarnya belum paham apa yang ditayangkan di televisi atau monitor komputer. Coba buat si kecil sibuk dengan kegiatan lain, seperti membaca bersama atau kegiatan kreatif lainnya. Coba lakukan perbincangan dan mendengarkan agar si kecil bisa belajar berkomunikasi.

9. Mencoba menghentikan rengekan besar
Beberapa orangtua khawatir, jika si anak yang tak bisa diatur akan membuatnya terlihat seperti orangtua yang tidak efektif. Namun, ada kalanya si anak akan melakukan rengekan besar. Ketika mereka melakukan hal tersebut, percuma kita meminta mereka berhenti melakukannya, bahkan jika hal tersebut terjadi di depan orang banyak.

“Saat tantrum terjadi di depan orang banyak, kita akan merasa seperti dihakimi. Kita merasa ada papan neon di atas kita yang mengatakan bahwa kita adalah orangtua yang tak kompeten,” ungkap Braun. Padahal, para orangtua harusnya ingat, yang lebih penting adalah apa yang terjadi pada si anak, bukan pendapat orang lain, apalagi orang asing. Jika ini terjadi, cobalah membawa si anak ke lokasi yang sepi agar si kecil berhenti berteriak dan mengeluarkan emosinya. Ketika hal ini selesai, Braun menyarankan agar Anda menawarkan pelukan untuk si anak dan jalani lagi hari Anda.

Sumber: WebMD, kompas.com, Editor: Nadia Felicia


Kebablasan

Posted: 05 Sep 2010 06:54 PM PDT

Heboh memang saat para wakil rakyat di Senayan sudah menganggarkan dana 1,6 triliun rupiah untuk membangun rumah barunya. Rumah mewah (apa rumah yang lama kurang mewah?) ini dianggap sebagai alasan untuk meningkatkan kinerja. Sayangnya alasan itu hampir-hampir tidak masuk ke akal sehat apalagi ke nurani.

Yang lebih menyakitkan sebenarnya adalah saat mengetahui wakil rakyat yang mulia yang menangani urusan rumah tangga (sekaligus berperan sebagai tukang kibul) adalah mantan aktivis yang cukup disegani pada masa reformasi dulu. Inilah potret orang-orang yang mengaku mewakili rakyat itu. Rumah mewah sebenarnya adalah simbol ekspansi (kerakusan) modal dan kekuasaan saja. Sebab ruang kerja yang sempit memang kurang selesa untuk melakukan banyak negosiasi proyek-proyek APBN. Lebih afdol lagi saat menjamu dengan rekan bisnis sambil menikmati spa atau berjemur di kolam renang.

Di luar potretnya berbanding terbalik. Ribuan rakyat miskin berdesak-desakan, berhimpit-himpitan, bertaruh nyawa hanya untuk mendapatkan sepaket sembako untuk hidup beberapa hari. Hal yang sama saat mereka berani mengorbankan para manula atau balita untuk mendapatkan zakat yang hanya mungkin diterima sekali dalam setahun.

Sementara ledakan tabung gas tak kunjung selesai, dengan tenang penilap uang rakyat melenggang kangkung, bersiap-siap pindah rumah dari Lapas ke rumahnya yang super elit. Sementara orang-orang kecil semaput saat antri sedekah, yang lain malah pengen perang dengan negara tetangga. Semakin kecewa saat Kepala Negara memilih mengalah (bukan untuk menang) dengan alasan diplomasi, meskipun nota protes yang ke-4 pun dicuekin pejabat setingkat menteri di negara tetangga.

Tidak perlu kita bereaksi terlalu berlebihan karena di atas segalanya kita memang sudah lama mengangkat bendera putih, saat konstruksi nasionalisme dan ekonomi kita yang terlampau rapuh ini sudah lama dipotret, dikekang, bahkan didikte oleh negeri jiran. Kita masih bisa sedikit berbangga dengan mengatakan bahwa mengalah adalah cara terhormat untuk mengaku kalah.

Menjelang libur panjang seperti Lebaran dan tahun baru jutaan orang mudik ke kampung halaman dengan jutaan cerita pula. Yang di kampung memuja-muja mereka yang kembali dengan mobil mewah dan uang banyak tanpa peduli dari mana asalnya. Mari tiru mereka yang sudah sukses, ikuti cara mereka, jangan ikuti kata hatimu. Begitulah kira-kira nasihat orang-orang kepada mereka yang hidupnya masih prihatin. Lalu jutaan orang berbondong-bondong hijrah ke ibukota dengan taruhan menjadi "orang" atau menambah bilangan penghuni kolong jembatan.

Maka hidup hanyalah upaya meraup sebanyak-banyaknya selagi mampu. Mulai dari wakil rakyat, pejabat teras, pengusaha, dan "orang-orang sukses" lainnya hidup adalah aji mumpung. Semua hanyalah persaingan sementara untuk mobilisasi derajat hidup dengan cara apa pun, setelah di atas rauplah dengan cara apa pun, kalahkan setiap orang yang berusaha menjadi saingan dengan cara apa pun, maka sukses akan bertahan. Memang benar kata Hobbes bahwa naluri manusia adalah homo homini lupus. Di saat bersamaan berlakukah hukum survival for the fittest. Barangkali itulah yang membuat peradaban kita bisa langgeng. Sebagai rasionalitas pada generasi berikutnya katakanlah bahwa kesuksesan hanya dapat diraih dengan kerja keras dan pantang menyerah. Itulah rumus keberhasilan hidup.

Oleh sebab itu puluhan juta petani, buruh industri, tukang becak, penjuan sayur di pasar, nelayan, tukang sapu, atau pembantu rumah tangga, yang bangun menjelang subuh dan bekerja keras sampai malam, hanya bisa mangut-mangut karena mereka adalah pengecualian dari rumus itu. Semakin bingung oleh karena demi alasan pembangunan sebagian lahan dan hasil bumi mereka diambil pengusaha, hutan tempat hidup indigenous people hancur, ikan tangkapan semakin menciut karena sungai dan laut tercemar, harga-harga tak terkendali di pasar, BBM dan TDL naik terus, dan sebagainya, dan sebagainya. Dan ketika ada pembagian zakat sekali setahun, yang kemudian ditonton seluruh mata di penjuru tanah air, mereka hanyalah orang yang patut dikasihani. Sumbangan, belas kasihan, derma, itulah hak rakyat kita. Orang-orang malang, yang belum mengerti rumus keberhasilan hidup.

Bicara tentang hak, uang 1,6 trilun rupiah itu sebenarnya hak siapa? Jika bicara tentang hakekat negara, uang yang bisa membangun ribuan gedung sekolah baru lengkap dengan alat praktiknya, ratusan rumah sakit, membina usaha padat karya, atau menyekolahkan jutaan anak-anak miskin itu apakah hak 550 orang yang baru melek dan masih gagap menyebut demokrasi atau hak 40 juta penduduk miskin penghuni negeri ini? Lucu memang, sebab setahu saya sejak SD kita sudah belajar tentang hak dan kewajiban. Namun para wakil rakyat tersebut entah lupa pelajaran tersebut atau saking pintarnya suka membalik-balikkan yang mana haknya dan yang mana kewajibannya.

Wajar jika akhirnya kaum papa tersebut tidak tahan lagi menerima nasib dan memilih hijrah ke negeri lain untuk mengisi pekerjaan yang tidak lagi mau dikerjakan oleh warga negaranya, meskipun pada faktanya mereka adalah pahlawan kesepian atas simbol-simbol kejayaan seperti Menara Kembar Petronas dan gedung-gedung pencakar langit lainnya. Di sana mereka pasrah jiwa raga, ambillah segalanya sebagai tanda terima kasih. Gamang dan ragu kami ini sebenarnya warga negaranya siapa? Barangkali keduanya, karena kami adalah serumpun. Ini tentang pertaruhan perut dan masa depan anak cucu, sama sekali bukan tentang nasionalisme. Karena ini tentang serumpun kami boleh membawa reok, tari pendet, angklung, batik, apapun, bahkan (maaf) celana dalam kami pun masih serumpun.

Begitulah, kenyataannya kita memang terlalu sering kebablasan. Maka seandainya pun pemerintah kita tergoda untuk berperang dengan negeri jiran, mohon dipikir tujuh kali tujuh puluh kali lagi, apakah 2 juta "orang kita" di sana berada sepihak atau malah berdiri berhadap-hadapan dengan kostum pejuang '45 lengkap dengan bambu runcingnya?


Tags: konflik malaysia, DPR, nasionalisme, samuel purba

0 Response to "Inilah 9 Kesalahan Orang Tua Saat Mengasuh Balita | resep.web.id-balita sehat ceria"

Posting Komentar