Melongok ke Hari Tua-balita sehat ceria

Melongok ke Hari Tua-balita sehat ceria


Melongok ke Hari Tua

Posted: 24 Sep 2010 09:07 PM PDT

Para tetangga saya yang sudah beberapa tahun tinggal di rumah setelah pensiun, kelihatannya sangat bahagia. Sementara anak dan menantu yang masih tinggal bersamanya bekerja, mereka lebih banyak bercengkerama/ mengasuh cucu di rumah. Di pagi yang cerah, salah satu tetangga (seorang bapak) dengan mendorong sepeda roda tiga mengasuh cucu-cucunya yang masih balita mengelilingi komplek perumahan.

"Wah enak ya pak, menikmati hari-hari bersama cucu?" sanjung saya setulus-tulusnya, seolah bisa merasakan kebahagiaan tetangga itu.

"Ah ya enggak mas, enakan kalau tidak harus mengasuh!" jawabnya dengan sedikit melirihkan suara, takut didengar orang lain dan sambil mengedipkan matanya seolah mengandung maksud. Tentu saja saya agak terperanjat dengan jawaban itu. Sesaat saya belum bisa berpikir lebih jauh karena sudah dilanjutkan dengan obrolan tentang hal-hal lain.

Di kesempatan yang longgar, baru bisa teringat jawaban tetangga itu. Saya mencoba mencari makna di balik jawabannya. Apakah ia bosan/kecapekan selama ini mengasuh cucu-cucunya hanya saja tidak bisa berbuat apa-apa, yang berarti melakukan dengan keterpaksaan? Atau mungkin didorong rasa egoisme seorang pria yang tidak menginginkan kebebasannya tersita dengan hal-hal tentang pengasuhan anak, yang sudah pernah dilakukan ketika mudanya, dan yang menganggap pensiun adalah saatnya bebas dari segala keterikatan? Yang jelas saya jadi merasakan ada "kekurang-nyamanan" dengan tetangga saya.

Apa yang dirasakan dan diinginkan para orang tua usia pensiun? Bagi yang sebelumnya berprofesi wiraswasta, sepertinya waktu berjalan tenang tanpa perubahan mental yang berarti, tetapi bagi karyawan yang melewati 'pensiun' dan yang bisa menghadapi dengan positif, adalah merasakan kebahagiaan bebas dari rutinitas pekerjaan, bisa mengembangkan hobby yang selama ini tertunda, berolahraga, memupuk kualitas hubungan sosial dan ibadah kepada Tuhan, antusiame membangun bisnis sendiri, dll. Sepertinya jarang yang berkeinginan "mengasuh" cucu. Tetapi kebanyakan berkeinginan ‘bercengkerama’ dengan cucu. Sifat bercengkerama biasanya waktunya relatif singkat tergantung "tingkat kebosanan" sang pencengkerama.

Rasanya saya sudah sedikit memahami makna dibalik jawaban tetangga saya. Mereka mungkin menginginkan bercengkerama tetapi bukan "mengasuh" yang notabene dilakukan terus menerus hingga melewati "tingkat kebosanan"nya. Sejujurnya kebiasaan seorang ayah eh…saya, lebih senang apabila "menerima" anak dalam kondisi yang sudah bersih dan wangi, selanjutnya siap bermain-main, biasanya berhenti sampai si anak ngompol atau be'ol. Bila ini terjadi, selama istri tidak repot, rasanya segan untuk menangani/memberesi sendiri. Meski tahu hal ini sesuatu yang kurang baik dan bertanggung jawab, nyatanya senang melakukan hehehe….(merasa sudah terlanjur menjadi kebiasaan). Jangan-jangan tetangga itu seperti saya. Meski meyakini masih sebagai tanggung jawabnya, sebagai ayah saja masih merasa segan, apalagi seorang kakek.

Kalau dibandingkan dengan nenek, sepertinya tidak terlalu bermasalah, karena sudah menjadi kebiasaan sejak mudanya. Sering saya mendengar jawaban standar mereka,"Repot sih repot, tetapi gimana ya…dari pada diasuh pembantu, masih lebih baik bila neneknya sendiri, kan cucu-cucu sendiri!"

Memang ada kakek/nenek yang merasakan kasihan terhadap anak/menantunya, yang selain bekerja masih harus mengasuh anak. Mereka dengan senang hati dan keikhlasan tinggi menggantikan peran itu, apalagi sekarang hidupnya menjadi tanggungan anaknya. Hanya saya berpikir bukankah mereka dahulu begitu mandiri bekerja dan mengasuh anaknya sekaligus? Sudah menjadi naluri orang tua bisa merasakan apa yang dirasakan anaknya(berempati). Selama si anak merasakan itu semua sebagai sesuatu keprihatinan dan "terpaksa", tidak menjadi masalah; tetapi bila merasa itu sebagai "kewajaran", rasanya sangat disayangkan dan tidak pada tempatnya. Kewajiban anak adalah ikut menanggung beban orang tua dimasa tuanya, tanpa membebani dengan suatu tugas sebagai "barter", karena dengan "barter" seperti apapun jasa/budi baik orang tua tidak akan pernah terbalaskan.

Ada juga kakek/nenek "egois" yang mempunyai kebiasaan setiap hari libur "menjemput" cucu-cucunya, sementara anaknya merasa rikuh untuk melarangnya, bahkan saatnya masuk sekolah masih ditahan-tahan. Konon dari segi psikologi hal ini kurang "sehat", karena si cucu kurang berinteraksi dengan orang tuanya yang dihari libur adalah kesempatan untuk memupuk hubungan lebih intens. Bahkan karena "monopoli" sang kakek/nenek, si cucu menjadi jarang berinteraksi dengan anak seusianya.

Karena anak-anaknya semua tinggal di lain tempat/kota, orang tua saya sepertinya kesepian, mereka menginginkan ada salah satu cucunya yang tinggal bersamanya. Namun keinginan itu tidak mudah dituruti, karena cucu-cucunya masih dalam masa-masa yang memerlukan interaksi dan ketergantungan dengan orang tuanya, mungkin setelah akil balig barulah bisa terpenuhinya keinginan itu. Syukur mereka mau mengerti. Keinginan yang manusiawi bila seorang ayah/ibu bisa mengikuti proses perkembangan fisik dan psikis anaknya sendiri dari waktu ke waktu. Berbahagia bagi yang bisa mengakomodir kedua keinginan itu, yang biasanya bertempat tinggal terpisah tetapi relatif dekat untuk mencapainya, sewaktu-waktu kakek/nenek rindu dengan sang cucu bisa mudah mengunjunginya.

Banyak orang orang tua yang hidup terpisah menjadi kesepian dan selalu berharap agar anak cucunya selalu mengunjunginya. Bilamana harapan itu tidak terpenuhi, mereka menjadi sakit hati dan mengungkit-ungkit masa lalu, bahkan tidak jarang menyumpahi anaknya yang dirasa tidak tahu balas budi. Hal ini terjadi biasanya baik orang tua dan anaknya sama sama tidak memahami etika : berbuat baik, melupakan jasa baik dan tahu balas budi.

Bagi orang tua yang sadar telah 'membesarkan' anaknya, selama mereka bisa melupakan jasa baiknya, maka tidak akan timbul harapan-harapan itu, yang berarti tidak ada kesedihan atau masalah, meskipun anak/cucunya benar-benar melupakan. Sebagai orang tua mereka menyadari bahwa kemarahannya juga menjadi kemarahan Tuhan dan keridhoannya menjadi keridhoanNya. Orang tua dengan tingkat pemahaman seperti ini, bisa merasakan "cinta" dan kasih sayang tersebar dimana-mana, tidak hanya kepada anak/cucunya saja. Rasanya kurang hati-hati mudahnya orang tua mengutuk anak yang dianggap durhaka, meski itu manusiawi, seolah menutup kemungkinan perubahan pada anaknya. Bukankah atas kehendakNya waktu dan kondisi bisa merubah sifat manusia.

Bagi anak yang memahami etika di atas, dia akan selalu mengingat budi baik orang tua yang telah diterimanya. Sebagai anak yang berbakti dia akan merawat orang tuanya dengan penuh kesabaran bila sekarang sedang bersamanya dan bila berjauhan akan mengunjungi secara rutin orang tuanya tanpa diminta, meski orang tua tidak mengetahui etika di atas, hal yang menjadi kesedihanya sudah pasti tidak akan pernah terjadi. Salah satu pihak bisa memahami etika itu sudah cukup untuk memberikan keharmonisan, apalagi kedua-duanya mengetahui, tentu semakin tinggi tingkat pengertian antara orang tua dan anak.

Beberapa teman kantor bahkan mempunyai pilihan terakhir yaitu panti wreda (jompo). Mereka membayangkan hidup di panti wreda mungkin lebih "menyenangkan" dan "menyehatkan". Mereka tidak ingin merepotkan anak cucunya, serta JUSTRU ingin menjaga hubungan orang tua dan anak tetap lestari, karena kawatir "ketidak-sabaran" anaknya dalam merawatnya akan menurunkan kualitas hubungan dan hanya akan menambah dosa. Panti wreda memang belum menjadi wacana yang bisa diterima masyarakat umum di Indonesia. Banyak yang menganggap membawa ke panti wreda sama saja "membuang" orang tua, dan kenyataan sekarang ini kebanyakan panti wreda memang untuk mengakomodir "orang-orang terbuang".

Di masa mendatang, yang kebanyakan orang Indonesia "sibuk" dengan diri sendiri, boleh jadi panti wreda adalah "tempat elite dan eksklusif" yang ditawarkan developer dan yayasan. Selain adanya paramedis (dokter, perawat dll) yang secara rutin mengontrol kesehatannya, juga ada fasilitas ibadah, fitness centre, olah raga, kolam renang, taman yang asri dengan pohon rindang, perpustakaan dan…tidak tidur di bangsal, tetapi mempunyai rumah/ruang sendiri lengkap dengan fasilitas layaknya "kantor" dan "rumah tinggal". Bisa-bisa para penghuninya akan "melupakan" anak-anaknya, bagaimana tidak? karena disana berkumpul teman-temannya yang dulu satu kantor/pekerjaan.

Saya dan yang seusia saya pun insyaAllah akan menjadi tua, yang tidak perlu mengulang pengalaman orang orang tua yang kesepian dan penuh kesedihan, kalau kita bisa mencari bentuk-bentuk penghiburan yang positif dan menyehatkan selain mengharap kedatangan anak/cucu. Ibarat melepaskan anak panah, kita hanya berusaha mengarahkan ke sasaran, anak kita yang melesat ke masa depan boleh jadi tidak bisa kita jumpai. Kita hanya berharap agar tepat sasaran, oleh karenanya tidak ada jalan lain selain terus melatih "ketrampilan memanah" sampai benar-benar lihai.


Berita yang menyesatkan dan berefek “Prihatin”

Posted: 24 Sep 2010 08:37 PM PDT

"dr Fielda menjelaskan, pasien yang baru saja kemoterapi akan mengeluarkan gas yang mengandung bahan kimia dari kemoterapi melalui saluran pernapasannya, baik lewat mulut ataupun hidung. Gas ini dapat mengganggu darah tepi penjenguknya yang masih balita dan punya kekebalan tubuh rendah.

0 Response to "Melongok ke Hari Tua-balita sehat ceria"

Posting Komentar