Balita Mati Karena Gizi Buruk-balita sehat ceria

Balita Mati Karena Gizi Buruk-balita sehat ceria


Balita Mati Karena Gizi Buruk

Posted: 07 Oct 2010 05:33 PM PDT

SURABAYA - SURYA- Akibat berada di kubangan kemiskinan tersebut, satu kampung di RW 10 setidaknya tercatat sepuluh balita mengalami gizi buruk. Ini terlihat dari balita yang memeriksakan kesehatannya di Posyandu setempat. Sepuluh balita berada di bawah garis merah atau kondisi gizinya buruk.

Dari jumlah balita yang terkena dampak kemiskinan di kampung tersebut, tiga di antaranya dipastikan gizi buruk. Bahkan satu di antaranya meninggal karena penyakit penyerta.

“Tiga balita positif gizi buruk, satu di antaranya sudah meninggal,” kata Ny Maisun, petugas Posyandu setempat saat ditemui Surya.

Identitas balita yang meninggal akibat gizi buruk itu belum bisa disampaikan. Namun Maisun membeberkan dua balita yang saat ini mengalami gizi buruk. Kedua balita itu adalah Siti Khumairoh. Bayi tiga tahun anak pasangan Mudin dan Munwaroh ini hanya memiliki berat 9 kg. Begitu pula dengan Safira, 2, anak keluarga Samsul Arifin.

“Mereka saat ini kami prioritaskan memberikan makanan dan gizi tambahan. Selama tiga bulan akan mendapatkan susu entrasol gratis,” jelas Maisun kembali.

Saat ini, balita di kampung tersebut sebanyak 132 anak. Petugas Posyandu ini terus memantau perkembangan gizi mereka. RT 09 adalah yang paling mendapat perhatian. Di kampung Irawati ini terdapat banyak balita yang tumbuh dengan asupan gizi yang kurang.

Posyandu telah memeriksa khusus 22 balita di kampung ini. Sebagian besar memang diakui dalam kondisi gizi yang tidak baik. Para balita itu berada di bawah garis merah dalam Kartu Menuju Sehat (KMS). nfai

Dibaca: 108 kali

Sesuatu yang Belum Sempat Terucap

Posted: 07 Oct 2010 11:34 AM PDT

class="fsize14 lh20">

(A Little girl and an old man)

Pernahkah terpikir olehmu untuk merasakan jatuh cinta di usia yang sangat belia? Cinta pada seseorang yang kamu yakini tidak akan pernah bisa kamu miliki. Dalam keadaan emosi yang masih sangat labil, kamu dipaksa untuk memendam perasaan cintamu yang menggelora, kerinduanmu yang terus menerus membuat hasratmu untuk bertemu dengannya terasa begitu menyesakkan dada, mimpimu terus melesat secepat kilat, membumbung tinggi hingga tak kamu rasakan kakimu menapak di atas tanah, pada saat seperti itu kamu juga dituntut untuk bersikap bijaksana terhadap semua keinginan dan hasrat yang terus menerus menguasaimu, selalu menjaga citra agar cinta yang tumbuh itu tidak sampai menyakiti pihak-pihak lain dan tidak pula mengganggu hubungan baikmu dengan orang yang kamu cintai itu. Kamu terpaksa harus puas menikmati kebaikannya seorang diri, menikmati senyum manisnya dan lirikan matanya yang menurutmu memiliki daya tarik tersendiri dan menjadi magnet yang terus menyeret perasaanmu untuk jatuh semakin dalam, terperosok ke dalam lorong-lorong buntu, tak ada jalan keluar yang memungkinkan kamu untuk bisa melihat kembali terangnyanya cahaya matahari, indahnya bunga-bunga beraneka warna dan kumbang-kumbang jantan yang berterbangan ke sana kemari mencari sari madu. Kamu masih terus berkutat dalam kubangan cinta yang tak berbalas itu. Semua itu harus kamu rasakan seorang diri. Kamu merasa tabu untuk menceritakan cinta yang kamu rasakan itu kepada orang lain, kamu merasa malu untuk mengatakannya secara terus terang kepada orang yang diam-diam kamu cintai setengah mati itu, yang rela menguras air matamu setiap kali berpapasan dengannuya. Kamu merasa dirimu adalah seorang pendosa karena telah mencintai seseorang yang telah menjadi milik orang lain dan kamu merasa dirimu sangatlah aneh karena mencintai seseorang yang usianya jauh lebih tua di atas usia beliamu. Sungguh merupakan sebuah pengalaman yang sangat menakjubkan sekaligus mendebarkan. Karena di dalamnya penuh dengan kejutan-kejutan yang terkadang sulit untuk diterima oleh akal sehat. Penuh dengan aroma heroik karena pada saat tertentu dituntut keberanian dan juga kenekatan kamu demi mendapatkan kesenangan dari perasaan yang begitu kuat mencengkeram hati dan jiwamu. Terkadang dipenuhi pula oleh tangisan, baik tangisan kesedihan maupun tangisan kebahagiaan. Semua yang terjadi tak juga menghalangi benih-benih cinta yang terus tumbuh dan berkembang di dalam hatimu, menyebarkan aroma segar hingga tak kuasa lagi memalingkan rasa yang sudah terlanjur menancap dalam seperti anak panah yang jika dicabut hanya akan menimbulkan kepedihan yang teramat sangat. Satu-satunya yang membuatmu bertahan adalah keyakinanmu bahwa sebenarnya dia juga menaruh hati padamu. Sebuah prediksi yang terlalu berani sehingga membuatmu rela berkorban perasaan hanya demi mempertahankan rasa cinta itu. Pernahkah kamu mengalami cinta seperti itu? Ataukah justru kamu menganggap orang yang mengalaminya adalah orang bodoh yang hanya membuang-buang waktu percuma karena sejak awal sudah mengetahui bahwa cinta itu tidak mungkin bisa dimilikinya dan menganggap orang yang mengalaminya sedang sakit jiwa karena mengharap sesuatu yang tidak mungkin akan didapatkannya? Kamu tidak mengalaminya, kamu tidak pernah tahu bagaimana rasanya. Cinta itu begitu aneh, dahsyat, dan begitu besar, ya…sebuah cinta yang agung, cinta yang tak lekang oleh waktu meski kemudian zaman berganti, warna rambut, bentuk tubuh, cara berjalan, suara, pandangan, telah mengalami perubahan.

Aku tidak sedang membicarakan jenis cinta monyet yang biasanya melanda anak-anak di usia belia mereka. Cinta yang kerapkali tidak disertai dengan tanggungjawab dan terkesan semau gue karena yang mereka pikirkan hanyalah kebahagiaan dan kegembiraan saja. Jarang yang membumbuinya dengan pengorbanan maupun heroisme. Bahkan ketika pada akhirnya cinta itu harus berakhir, aromanya pun cepat sekali menguap hingga tak bisa lagi tercium meski hanya dalam hitungan detik. Akupun pernah mengalami jenis cinta seperti ini, ketika rasa frustasiku memuncak memikirkan cintaku yang tak berbalas, pada suatu ketika aku berusaha untuk berpaling darinya. Lalu kutemukan cinta yang lain. Cinta yang tak kalah indahnya namun di dalamnya penuh dengan gejolak emosi dan keegoisan yang tinggi dan ingin menang sendiri. Cinta itu hanya seumuran jagung saja, hanya sekejap, setelah itu hilang tak berbekas. Begitu mudahnya aku mendapatkan cinta jenis itu, tetapi begitu mudahnya pula aku melupakannya. Cinta seperti ini mudah rapuh dan mudah putus dan kemudian sirna seiring dengan ego yang terus berkembang di dalam diri kita. Bukan cinta seperti itu yang ingin aku ceritakan. Tetapi cinta dua zaman yang tak lekang di makan waktu. Cinta yang terus bertahta di dalam hati dan sanubari, membuatku tak bisa berpaling darinya dan terus berharap untuk bisa mendapatkannya.

Hmm…. kisah cinta itu sudah terjadi puluhan tahun yang lalu, meski pada akhirnya ombak telah membawa bidukku terdampar pada tepian pantai yang lain dan cinta itu telah dengan susah payah aku kubur di kedalaman laut di mana hiu-hiu telah siap untuk memusnahkannya namun tokh ternyata takdir berkata lain. Cinta itu tanpa kuduga datang kembali menemuiku, seolah ingin menjawab keyakinanku dan membuktikan kekuatan doaku. Siapa yang menyangka di tempat yang sunyi dan asing, jauh dari hiruk pikuk manusia dan juga peradaban, aku justru menemukannya. Ya, hari ini, harapan yang selama bertahun-tahun menghantui hidupku itu akhirnya terkabul. Inilah ceritaku:

"Little girl?", benarkah kamu little girl itu?", sapa seseorang kepadaku saat aku memasuki sebuah kedai kopi di ujung jalan menuju desa setelah seharian mengelilingi desa, mendata bayi dan balita yang mengalami gizi buruk.

Aku menoleh ke arah suara itu dengan dada berdebar. Hanya satu orang yang pernah memanggilku dengan sebutan seperti itu, tetapi mungkinkah dia? Ah… untuk sesaat aku terpana dibuatnya. Dia duduk di sudut kedai, mengembangkan senyum yang dulu pernah membuatku gila. Tatapannya masih tetap tajam hingga jantungku masih merasakan sakit akibat tertusuk olehnya.

"Uncle Jee?", aku mengucapkan nama panggilan itu dengan lidah yang kurasakan sedikit kelu. Tiba-tiba rasa malu kembali menyergapku, persis seperti dulu ketika dia memergokiku tengah mencuri pandang ke arahnya.

"Ya betul, ini uncle Jee. Jadi kamu betul little girl itu kan?", dia menjabat erat tanganku begitu aku sampai di dekatnya. Rasa hangat menjalari tanganku yang terasa dingin. Ah meski sudah belasan tahun tetap saja pesonanya mampu membuat denyut nadiku berdetak lebih kencang membuat butiran-butiran keringat dingin keluar dari lubang pori-poriku. Untungnya aku masih bisa memperlihatkan wajah setenang air danau di pinggiran desa yang tadi aku lalui. Mungkin ini hasil dari latihan meditasi yang sering aku lakukan.

"Saya tidak menyangka akan bisa bertemu kembali denganmu di sini setelah puluhan tahun tidak ada kabar berita tentangmu"

"Saya juga begitu, tidak menyangka akan bertemu kembali dengan uncle di sini, di tempat yang sangat terpencil ini. Boleh saya duduk di sini?", tanyaku sambil menarik sebuah kursi yang ada di depannya.

"Oh iya silahkan….silahkan", uncle Jee lalu mempersilahkanku sambil menggeser kursinya agak ke belakang agar aku bisa dengan leluasa mengatur posisi kursiku.

"Ayo, kamu cepat pesan makanan dan minuman setelah itu ceritakan pada unclemu kemana saja kamu selama ini".****************

"Jadi selama ini kerja kamu keliling terus dong, masuk desa keluar desa, masuk kota keluar kota, masuk dari satu propinsi ke propinsi yang lain begitu terus. Terus bagaimana nasib keluargamu?", tanya uncle Jee ketika aku sudah selesai menceritakan apa yang aku lakukan selama ini.

"Begitulah uncle, keluarga ya alhamdulillah sangat mengerti dan mendukung aktivitas saya. Uncle sendiri kenapa sampai terdampar di tempat terpencil seperti ini?" Ah baru kali ini aku bisa sedekat ini dengannya, leluasa memandangi keindahan wajahnya. Rasa perih itu mulai menghantuiku. Dia bukan milikku, bathinku pahit.

"Ah ini sih kebetulan saja, saya diajak seorang teman untuk meninjau perkebunan miliknya di sini. Ya mumpung sedang ada waktu senggang ya saya terima tawarannya. Hitung-hitung refresing, menghirup udara pedesaan yang sejuk dan bersih. Dan ternyata tidak sia-sia kepergian saya ke desa ini karena di sini saya berjumpa dengan bunga desa yang tetap segar, cantik dan terus menebarkan aroma wangi", ucap uncle Jee sambil mengumbar senyum menawannya.

"Senyum unclepun tetap tidak berubah, masih saja semanis madu yang membuat para gadis jadi tergila-gila", ujarku sambil terus memandanginya. Kali ini aku tak mau lagi hanya sekedar mencuri pandang tapi aku ingin memandanginya sepuasku. Mungkin besok atau lusa kesempatan seperti ini tidak akan kudapatkan lagi.

"Gadis yang mana ini? Setahu saya yang dulu sering mencuri-curi pandang ke arah saya adalah gadis kecil, mungil, manis dan pemalu, berbaju biru"

"Ha….ha….. sepertinya saya sangat mengenal ciri-ciri gadis belia yang uncle sebtukan itu. Dulu saya pernah jatuh cinta setengah mati pada uncle dan selalu merasa deg-degan jika berdekatan dengan uncle", ucapku secara terus terang ketika uncle Jee mulai menyinggung hal-hal yang berhubungan dengan masa lalu kami. Entah darimana datangnya keberanian itu sehingga tanpa rasa malu dan kikuk kukatakan kepadanya apa yang dulu aku rasakan. Seandainya saja dia tahu kalau sampai saat inipun aku masih merasakan hal yang sama. Tapi percuma saja untuk mengatakan apa yang aku rasakan saat ini. Toh tetap saja akan seperti dulu, hanya sebuah harapan kosong.

"Jadi itu alasannya mengapa dulu saya sering memergokimu tengah mencuri-curi pandang, saat saya sedang memberikan materi di kelasmu", jawabnya.

"Ha….ha….., jadi sebenarnya uncle sudah tahu dong kalau saya ada hati sama uncle?"

"Ada banyak hal yang masih saya ingat tentangmu. Warna baju yang sering kamu kenakan, posisi duduk kamu di dalam kelas, senyum manis kamu yang terkesan malu-malu dan kebiasaan kamu mendatangi meja saya saat kelas usai. Saya selalu terbayang wajah malu kamu saat kepergok tengah memandangi saya. Apa yang membuatmu telah jatuh cinta setengah mati kepada saya? Laki-laki yang usianya jauh lebih tua darimu.

"Entahlah uncle….. namanya juga orang sedang jatuh cinta, kan nggak perlu pake logika. Melihat uncle yang ganteng dan pintar itu saja sudah cukup sebagai alasan mengapa seorang gadis belia seperti saya ini jatuh cinta"

"Bahkan dulu saya sering menangis jika melihat uncle melintas di kejauhan. Tangisan frustasi karena tahu cinta saya tidak akan mungkin dibalas", sambungku.

"Kenapa kamu tidak pernah menceritakan semuanya sejak dulu? Bagaimana mungkin saya tahu apa yang kamu rasakan kalau kamu tidak pernah memberitahukannya?"

"Apakah semua sikap yang telah saya perlihatkan dulu tidak cukup untuk membuat uncle berfikir bahwa mungkin saja saya telah jatuh cinta kepada uncle? Dan akankah mengubah keadaan jika saya mengatakannya terus terang saat itu? Kalaupun saat itu uncle tahu, apa yang akan terjadi kira-kira?"

Laki-laki yang sebagian rambutnya mulai memutih itu tampak diam, hanya matanya saja yang menerawang, memandangi cangkir kopinya yang hampir kosong, entah sedang memikirkan apa.

"Itu yang saya tidak tahu karena tidak pernah terjadi", ucapnya kemudian sambil menatap dalam tepat ke bola mataku. Aku cepat-cepat memalingkan wajah, agar tidak terseret arus medan magnet yang dulu sempat menyeretku jatuh terperosok ke dalam pesonanya.

"Apakah sekarang masih merasa deg-degan karena berdekatan dengan saya?", tanya uncle Jee polos.

"Di awal-awal tadi sempat begitu, apalagi ketika mendengar ada yang memanggil saya dengan sebutan itu. Tidak ada orang yang memanggil saya seperti itu kecuali uncle Jee. Sebutan itu tercipta di saat-saat terakhir menjelang perpisahan kita bukan? Entah mengapa uncle Jee saat itu tampak lebh agresif dari sebelumnya, selalu menyapa dan kita saling melontarkan ejekan. Uncle jee kemudian menjulukiku Little girl yang imut dan manis he…he…. sementara saya memanggilmu uncle Jee yang saya tiru dari salah satu telenovela Brazil yang sedang booming saat itu. Dan kebetulan memiliki kemiripan kisah cinta seperti yang saya alami terhadap uncle Jee. Dada saya benar-benar berdebar kencang tadi ketika mendengar suara uncle. Tetapi sekarang saya telah bisa menguasai perasaan saya. Saya bersyukur karena diberi kesempatan Tuhan untuk menjadi orang yang dewasa. Saya benar-benar menikmatinya saat ini terlebih-lebih lagi di sini bersama uncle Jee"

"Ya, saya juga beruntung karena bisa ikut mengalami dua etape kehidupanmu, masa belia kamu yang sampai sekarang tidak pernah bisa saya lupakan dan masa dewasa kamu sekarang ini yang membawa banyak kabar mengejutkan terutama yang berkaitan dengan masa-masa belia itu. Sungguh saya tidak pernah menyangka kalau dulu pernah dicintai setengah mati oleh seorang gadis muda belia. Saya jadi ingin kembali ke masa itu, mengulang kembali semua kenangan itu", uncle Jee mengucapkan kalimat terakhirnya dengan setengah malu.

"Untuk apa kembali ke masa itu lagi?"

"Ya untuk menikmati kembali sebuah cinta dari seorang gadis remaja"

"Buang-buang waktu saja, apakah dicintai seorang perempuan dewasa untuk saat ini terdengar tidak indah?"

"Apakah masih mungkin bagi saya? Dengan kondisi tubuh yang sudah renta dan rambut yang sebagian sudah memutih seperti ini?"

"Tetapi senyum dan tatapan itu tidak ikut berubah, masih sama seperti dulu"

"Betulkah?"

"Begitulah. Atau mungkin perempuan dewasa ini yang sudah tidak menarik"

"Memang tidak menarik tetapi menyeret lebih keras he…he…", uncle Jee tertawa renyah. Giginya yang tertata rapih terlihat jelas. Bahkan bibirnya yang berwarna pink tak memudar warnanya, dihiasi dengan kumis tebal yang membuatnya terlihat semakin seksi.

"Berapa lama uncle berada di sini?'

"Sampai besok sore, dan kamu?"

"Masih beberapa hari lagi"

"Apakah kita masih bisa bertemu setelah pertemuan sore ini?", tanya uncle Jee.

"Saya harap begitu"

"Baiklah uncle, saya harus kembali ke balai desa untuk menginput data yang hari ini saya dapatkan"

"Jadi kamu menginap di sana?"

"Iya, di ruang pafilium di samping kantor balai desa"

"Baiklah, kalau nanti ada waktu saya akan bertandang kesana"

"Silahkan, dengan senang hati saya akan menerima kedatangan uncle Jee"

"Tidak berbahaya menerima tamu seperti saya?"

"Apakah uncle Jee membahayakan?"

Uncle Jee mengangkat kedua bahunya dan menggeleng sambil tersenyum. Aku kemudian berdiri dan berjalan menuju pintu kedai.

"Kita lihat saja nanti, kalau belum mengalaminya tentu kita tidak bisa tahu, bukan begitu?", ucapku sebelum keluar dari kedai.

"Gadis pintar",, uncle Jee berkata sambil mengikutiku ke pintu.

"Terimakasih, tapi sekarang sudah bukan gadis belia lagi, bye…"

"Bagi saya tidak ada bedanya. Seandainya saja saya bisa menikmati kembali masa-masa belasan tahun silam itu walau hanya sejenak", setelah mengucapkan kalimat itu uncle Jee melambaikan tangannnya mempersilahkanku untuk pergi.

"Hanya untuk mengatakan sesuatu yang dulu belum sempat terucap……..", uncle bergumam pelan ketika aku sudah berjalan beberapa langkah meninggalkan kedai itu.

"Apa itu?" tanyaku seraya menghentikan langkahku dan menoleh ke arahnya.

"Sudahlah, bukan sesuatu yang penting, apalagi untuk masa sekarang ini", jawab uncle Jee.

"Belum tentu. Bagaimana kalau sesuatu yang belum sempat terucap itu adalah sesuatu yang akan merubah sejarah hidup seseorang?"

"Apa maksudmu?", uncle Jee balik bertanya yang kujawab dengan gerakan mengangkat kedua bahuku. Aku sendiripun tak tahu. Mungkin masih sama seperti dulu, hanya sebuah harapan semu.************

Pertemuanku dengan uncle Jee di kedai sore tadi telah mengingatkanku kembali kepada kenangan manis belasan tahun yang lalu. Rasanya sore tadi aku baru menyadari betapa enaknya menjadi orang dewasa. Dewasa secara fisik, dewasa dalam berfikir, dewasa dalam bersikap dan dewasa dalam memandang sebuah tahapan kehidupan. Dewasa dalam bersikap? Ha…..ha…. aku kembali ingin tertawa, mengapa sore tadi, aku bisa begitu bebas, lepas, menceritakan semua perasaan yang pernah aku pendam terhadap uncle Jee. Terbukalah pengakuan demi pengakuan tanpa merasa ada hal-hal tabu yang mungkin menurut sebagian orang tidak pantas atau tidak perlu untuk diceritakan.

"Rin, aku lihat di kedai tadi kamu ngobrol sama pak Bayu, kamu kenal tho sama dia?", tanya Umi, salah seorang staf kelurahan yang selama aku berada di desa ini selalu menemaniku.

"Lho kamu lihat juga tho, dia itu dulu guruku di SMA", jawabku.

"O alaaah…. ternyata dunia ini memang sempit ya. Di tempat terpencil begini, kamu bisa bertemu dengan mantan guru SMAmu. Kasihan lho dia itu Rin"

"Kasihan kenapa?", kubalikkan tubuhku menghadap Umi yang tengah membaca buku di tempat tidur.

"Jadi dia tadi tidak menceritakannya kepadamu?"

"Cerita tentang apa?", kuletakkan kertas-kertas berisi data-data hasil berkeliling seharian ini yang sebagian telah kupindahkan ke laptopku. Aku jadi sangat penasaran ingin mendengar cerita tentang uncle Jee.

"Setahun yang lalu, pak Bayu mengalami kecelakaan saat dalam perjalanan menuju desa ini. Mobil yang dikendarainya ditabrak oleh truk, akibatnya istri pak Bayu dan satu orang anaknya meninggal"

"Innalillaahi wainna ilaihi rajiuun….. ini cerita sungguhan? Kamu nggak lagi bercanda kan Um?, tanyaku seraya mendekati Umi.

"Masak aku tega sih mengarang cerita buruk seperti itu. Apalagi terhadap pak Bayu, orang yang sudah sangat berjasa bagi penduduk desa ini"

"Maksudmu? Jadi dia sudah sering datang ke desa ini sebelumnya? Dalam rangka apa?"

"Dia itu selama bertahun-tahun menjadi tenaga sukarela di sini, memberi pelatihan-pelatihan ketrampilan kepada penduduk, sehingga mereka tidak hanya bergantung pada hasil pertanian saja. Kamu lihat kan bangunan yang ada di ujung desa sebelah barat? Di sana ada usaha pembuatan pupuk serba guna dari kotoran-kotoran ternak dan juga sekam yang dihasilkan saat usai panen. Itu hasil dari didikan pak Bayu"

"Ya Tuhan….. mengapa tiba-tiba aku ingin sekali uncle Jee benar-benar datang ke pavilium malam ini? Aku mau menemaninya kembali ke masa belasan tahun yang lalu, mau mendengarkan apa yng dulu belum sempat diucapkannya, seperti yang tadi sore dikatakannya di kedai itu. Uncle Jee…… aku tidak sabar ingin cepat bertemu dengannya.

"Rin…. kamu kok jadi bengong begitu?", tegur Umi ketika melihatku tampak termangu setelah mendengar semua ceritanya. Berbarengan dengan itu, terdengar pintu pavilium ada yang mengetuk.

"Uncle Jee…..", pekikku kecil sambil berlari ke arah pintu.

"Uncle Jee…..", aku memanggil nama itu ketika pintu sudah terbuka.

"Ya little girl, aku di sini", sebuah suara yang sudah sangat aku kenal menjawab dari samping pavilium.

"Masihkah ada kesempatan kedua untukku?", tanyaku pelan.

"Seharusnya aku yang bertanya seperti itu. Tetapi masih pantaskah bagi seorang laki-laki renta sepertiku ini mengharapkan cinta dari seorang gadis belia?"

"Tetapi si gadis belia tidak keberatan untuk menemani kesendirian seorang laki-laki renta"

"Betulkah? Jika iya, maka benar apa yang kamu katakan tadi sore, sesuatu yang akan aku sampaikan ini mungkin bisa merubah sejarah hidup seseorang"

"Kalau begitu tolong sampaikan sekarang", pintaku.

"Sebenarnya dulu itu tidak hanya kamu yang suka mencuri-curi pandang, tidak hanya kamu yang memendam perasaan cinta dan tidak hanya kamu yang merasakan bahwa itu adalah sesuatu yang tabu. Ada seseorang yang juga merasakan semua itu. Selamat malam little girl, saya sudah mengucapkan apa yang dulu belum sempat terucap. Semoga kamu bisa mimpi indah malam ini", uncle Jee lalu melangkah hendak meninggalkan pavilium.

"Tunggu", cegahku.

"Saya tidak mau kehilnganmu untuk yang kedua kalinya. Saya sudah mendengar semua cerita tentangmu. Tidak ada lagi sekat yang bisa menghalangiku untuk mencintaimu dan aku tidak lagi takut  akan berdosa bila menginginkanmu menjadi milikku. Terimalah aku", ucapku sambil menubruk tubuh uncle Jee.

Berlin, Sparrstrasse 2, di awal Oktober yang dingin


0 Response to "Balita Mati Karena Gizi Buruk-balita sehat ceria"

Posting Komentar