'Visi Indonesia' Sehat Tekan Angka Kematian Ibu Dan Anak ...-balita sehat ceria

'Visi Indonesia' <b>Sehat</b> Tekan Angka Kematian Ibu Dan Anak <b>...</b>-balita sehat ceria


'Visi Indonesia' <b>Sehat</b> Tekan Angka Kematian Ibu Dan Anak <b>...</b>

Posted: 02 Oct 2010 04:06 AM PDT

Jakarta, KOBAR

Pemerintah terus mengupayakan penurunan angka angka kematian ibu, angka kematian bayi dan angka kematian balita di Indonesia sesuai dengan Masyarakat Sehat yang Mandiri dan Berkeadilan. Dalam lima tahun ke depan, ada dua target yang perlu dicapai yaitu target nasional yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka menengah Nasional (RJPMN) tahun 2014 dan target global, Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2015.

Menurut Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) HR Agung Laksono, Angka Kematian Ibu (AKI) akan diturunkan dari 228 orang per 100.000 kelahiran hidup menjadi 118 (RPJMN) dan 102 (MDGs). Angka kematian Bayi (AKB) akan diturunkan dari 34 per 1.000 kelahiran hidup menjadi kurang dari 15 (RJPMN) dan 23 (MDGs). Prevalensi Kekurangan Gizi dari 18,4% menjadi <15% (RPJMN) dan 18,5% (MDGs). Sedangkan Umur Harapan Hidup akan dinaikkan dari 70,7 tahun menjadi 72 tahun (RPJMN).

Pemerintah tetap berpegang pada data Badan Pusat Statistik disinkoronisasikan laporan yang diterima di Kementerian Kesehatan dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Sinkronisasi data ini perlu untuk dasar pengambilan kebijakan yang tepat.  Kita juga tidak mengesampingkan kecemasan para pihak yang peduli dengan masalah ini. Karena pemerintah pun sangat berkepentingan dengan masalah AKI dan AKB yang disadari merupakan barometer pelayanan kesehatan di suatu negara. Bila angkanya masih tinggi, berarti pelayanan kesehatan di negara bersangkutan masih perlu kita tingkatkan, katanya di Jakarta, Selasa (28/9).

Untuk itu pemerintah, menurut Agung Laksono yang juga dokter umum, permasalahan tersebut bisa dicegah dengan perbaikan sistem pelayanan mulai dari pelayanan primer, pelayanan spesialistik dan subspesialistik. Termasuk sistem rujukan yang efektif sehingga diperkirakan angka kematian ibu dan angka kematian perinatal dapat ditekan sampai 80%.

Sebaiknya masyarakat perlu merencanakan Keluarga Berencana (KB), untuk mengurangi risiko saat melahirkan. Rencanakan anak yang diinginkan, sehingga sang ibu siap segalanya saat menghadapi kelahiran. Akan lebih baik lagi bila hanya mempunyai dua anak. Dalam pada itu penyebab kematian ibu hamil yang berada di desa terpencil, umumnya karena keterlambatan pengambilan keputusan saat ibu mengalami pendarahan. Hal itu terjadi ditengarai terkait kultur sebagian masyarakat yang masih memegang adat apakah keputusan tersebut dilakukan ketua adat, saudara, atau suaminya.

Agung mengungkapkan, berdasarkan pengalaman di negara maju dan berkembang, intervensi medik ternyata mampu menurunkan AKI hingga 50%. Dalam jangka panjang kombinasi antara pendidikan dan status perempuan, peningkatan status gizi dan keluarga berencana (KB) mempunyai dampak paling besar untuk menurunkan AKI dan AKB. Oleh sebab itu, bidan sebagai tenaga kesehatan yang menyebar sampai ke desa harus mampu mempromosikan kesehatan ibu dan bayi baru lahir. (***)

u’re not in my shoes

Posted: 02 Oct 2010 01:59 AM PDT

Kemarin, saya baru saja melewatkan peristiwa menggemparkan.

Ceritanya, seorang lelaki datang ke puskesmas kami. Begitu masuk pintu, dia melihat tulisan 'tutup' di atas meja pendaftaran. "Sudah tutup ya mba?" Tanyanya pada salah seorang teman saya yang kebetulan sedang wara wiri di bagian depan. "Iya," jawab teman saya. Dan langsung saja dia melakukan tindakan yang tidak pantas; marah2, memaki, membanting barang dan memukul pintu. Saya, waktu itu sedang ada di poliklinik anak, di bagian ujung, memeriksa pasien dengan konsentrasi tinggi sampai tidak bisa mendengarkan apa2. Maka, saya jadi orang yang ketinggalan berita. Sementara yang lain mulai sibuk membicarakan kasus ini, saya sibuk mengunyah roti.

Apa yang terjadi kemarin, menurut hikayat turun temurun, bukanlah peristiwa yang pertama kali. Sebelumnya pernah, dalam intensitas dan derajat yang berbeda, pasien menunjukkan ketidakpuasan mengenai pelayanan di Puskesmas kami. Di bulan Ramadhan kemarin, seorang ibu datang membawa anaknya untuk imunisasi. Saat itu sudah jam 11.30 siang dan pendaftaran sudah ditutup. Bidan kami, langsung menolak untuk melayani karena ia tidak terdaftar. Si ibu yang tidak senang, berkomentar pedas—tepat ketika saya melintas—"Gimana sih pelayanannya..ga profesional banget!".

Saya sendiri, dahulu kala sekali, pernah dibuat agak heran dengan pelayanan di Puskesmas. Saat itu saya hendak melamar sebagai dokter PTT. Salah satu persyaratan yang diminta adalah surat keterangan sehat dari instansi pemerintah. Maka, sepulang dinas, dengan membawa ransel besar dan mata yang lebih besar dari jengkol akibat bergadang, saya datang ke Puskesmas di dekat klinik. Saat itu sekitar jam 12 siang. Puskesmas sudah sepi dan saya dengan agak ragu2 bertanya apa masih boleh mendaftar. Saya dipandangi dari ujung rambut hingga ujung kaki baru ditanya mengenai keperluannya. Saya bilang, saya butuh surat keterangan sehat, itu saja. Maka saya didaftarkan, diperiksa dan diberi surat keterangan dengan proses yang lebih cepat dari kereta ekonomi Bogor-Depok lalu di akhir sesi mendapatkan pesan serius; "Lain kali, datangnya jangan siang2 ya.."

Saya, waktu itu hanya tersenyum kecil, tapi jauh dalam hati terbetik celetukan; "Lha bukannya jam kerja sampa jam 2?" Tapi ya sudahlah. Pokoknya surat sudah di tangan. Pikiran yang sama terbetik ketika saya kesulitan sewaktu mengurus izin penelitian di dinas pendidikan akibat pegawainya selalu tidak di tempat atau ketika mengurus KTP dan surat pindah yang tidak bisa bersih dari uang administrasi berlipat lipat. Saya pikir, "Lha, dia kan memang digaji untuk itu, kok minta uang lagi ya?"

Kembali ke peristiwa menggemparkan kemarin, ternyata kasusnya tidak berhenti di situ. Si pria ini mengancam akan meneruskan kasus ini (bahkan sampai menyebut2 bahwa dirinya adalah orang Partai Anu) dan melaporkan kasusnya pada Dinas Kesehatan dan akibatnya kepala Puskesmas kami menerima telepon yang sepertinya mengubah moodnya yang biasanya sebersih langit di bulan Juli jadi seberkabut musim badai bulan Desember.

Kasian kasian kasian, pikir saya ketika menatap si Ibu Kapus yang baik hati itu. Sementara saya sendiri, menanggapi kasus ini dengan dingin2 saja. Beri saja pengertian, kalau tidak mau terima ya biarkan saja. Masalahnya, gampang untuk dia memaki atau mengatai kami sebagai "Pegawai Negeri makan gaji buta". Tapi kan dia tidak dalam posisi kami. Dan barangkali dia akan bersikap yang sama jika nantinya jadi kami.

Sebagai gambaran, kami bekerja melayani hampir sekitar 200 pasien setiap hari dengan hanya mengandalkan 4 dokter dan 4 perawat (yang jumlahnya menyusut ketika ada tugas luar, cuti atau pelatihan). Itu kalau pendaftaran ditutup jam 12 dengan perkiraan pelayanan baru akan selesai sekitar pukul 13. Sesudahnya, memang tugas para dokter sudah selesai. Tapi tugas mengentri data rekam medik, menyusun rekam medik, merekap laporan keuangan harus dikerjakan. Bagian obat juga biasanya masih bekerja menggiling, membungkus dan membagikan berbagai pil dan sirup sesuai resep lalu membuat laporannya. Belum lagi bagian kebersihan. Dan toh UGD tetap buka hingga siang. Belum lagi kenyataan bahwa puskesmas tidak didirikan dengan tujuan pengobatan, tapi juga promosi kesehatan dan pencegahan sehingga mengharuskan adanya program ini itu yang terus berganti ataupun yang tidak berganti. Semuanya harus dikerjakan, menuntut pelaporan dan keseriusan. Belum lagi tugas melakukan posyandu balita dan lansia yang sialnya kadang dijadwalkan sore hari oleh para kadernya. Pernah, saya mengerjakan posyandu balita pukul 4 sore dan baru selesai saat maghrib. Makan gaji buta? Matamu! Begitu kata  saya.

Pihak dinas sendiri menurut saya tidak kurang seenaknya. Pertama, kesenangan mereka membuat program ini itu, skrining ini itu, minta tim kesehatan buat kesini ke situ tanpa memikirkan aspirasi kami sebagai pelaksana. Jawabannya enak, ya kan kerjaan di Puskesmas apa sih? Paling tengah hari udah selesai. Memang udah selesai, tukas saya. Tapi bayangkankan dong beratnya kelelahan menghadapi puluhan orang setiap hari dengan berbagai tingkah polahnya. Situ si santai, cuman ngadepin kertas sama komputer doang (*memasang tampang seram).

Kedua, masalah dana yang menurut saya tidak pantas. Misal, untuk pemeriksaan balita, hanya dianggarkan Rp.50.000 per kelurahan, padahal balitanya okeh tenan alias banyak banget dan menuntut tim yang terdiri dari dokter, bidan dan ahli gizi. Belum lagi para kader yang terlibat. Sementara tanggapan dinkes bisa jadi begini: Lha kan kalian udah digaji negara? Dan lagipula tugas Puskesmas kan memang pengabdian ke masyarakat, jangan money oriented lah…

Ketiga—yang ini juga bikin saya kesal—adalah kenyataan bahwa jumlah pasien yang bisa dimasukkan sebagai angka kredit untuk kenaikan pangkat hanya 27 orang sehari, sementara kenyataannya saya pasien saya bisa mencapai 50 orang sehari. Teman saya di Magelang malah mengaku harus menangani 100 pasien sehari seorang diri. Lah kan ga mungkin menangani sampai segitu banyaknya orang sehari. Kalo gitu kan berarti 1 pasien diperiksa ga sampe 5 menit tho? Kata seorang kenalan di dinkes. Lah kenyataannya begitu, kata saya—sayangnya hanya dalam hati—sementara bibir tersenyum pahit dan otak sedang membayangkan mengenai alat penyiksaan apa yang cocok untuk menginsafkan orang seperti ini.

Intinya ya sama. You are not in my shoes. Coba kalau Anda yang di posisi saya—apa bisa bicara, menuduh, memaki segampang itu? Saya sendiri juga begitu. Di sini saya mengomel tentang pasien yang terlalu banyak menuntut dan tidak mengerti, tapi kalau saya jadi dia—apa tidak mungkin mengambil tindakan yang serupa? Kalau saya, anak, orang tua atau suami saya sakit dan saya mengandalkan Puskesmas sebagai dewa penolong kemudian saya ditolak dengan alasan pendaftaran sudah ditutup padahal hari belum lagi jam 12 siang, apakah saya bisa menerima dengan lapang dada?

Sama kasusnya—ketika suatu hari saya ditarik ke dinas kesehatan nanti, apakah saya tidak masuk ke jajaran orang yang mendapatkan kutukan kolektif dari puskesmas yang ada di bawah saya? Saya bisa jadi balik menyerang dengan mengatakan bahwa dinkes kota juga mengalami tekanan dari propinsi atau pusat plus dana yang memang sudah serba terbatas dari sononya sehingga puskesmas juga harusnya tidak mengharapkan apa-apa. Dan saya mungkin berteriak; halooooooo….. coba kalau Anda yang jadi saya. Memangnya Anda bisa melakukan sesuatu yang beda?

Saya ingat, ketika muda dulu saya cukup kecewa dengan organisasi yang ada di kampus. Saya mengkritik dan memilih untuk di luar jalur. Tetapi ketika saya kemudian hari masuk jadi bagian organisasi, saya merasai, memang susah menjalankan roda dinamisasi di kampus kami. Sewaktu saya menjadi mahasiswa preklinik dan mengamati senior2 saya yang sedang magang di rumah sakit, saya juga banyak mengkritisi sikap dari mereka dalam berbagai hal lalu dengan sesumbar berkata bahwa saya tidak akan seperti mereka. Hasilnya? Saya terjepit realita. Sekuat apa pun saya berusaha, lambat laun saya jatuh ke lubang yang sama. Di hari yang lain, saat saya lebih dewasa, saya mulai mengkritisi sikap orang tua dalam mendidik anak2nya. Tapi ketika menghadapi keponakan atau saudara yang lebih muda, saya melempem. Teori hilang dari kepala dan beberapa kali saya pun masuk ke dalam situasi—yang oleh penyair zaman dulu–disebut sebagai keadaan penuh noda dan dosa.

Walaupun begitu, saya tetap yakin akan 1 hal: kita harus tetap punya standar benar-salah, baik buruk dalam menilai dan melakukan sesuatu. Memang, seringkali situasi dan kondisi yang membuat kita tidak berdaya lalu berbuat di luar standar yang ada, tapi bukan berarti kita harus membenarkannya. Mentoleransi, berempati, memahami itu boleh. Tapi bukan berarti kita dibiarkan dan membiarkan semuanya seenak kita. Dan ngomong2 soal standar moral, prilaku si bapak kemarin itu benar2 tidak wajar. Yang mana sih orangnya? Kok saya tiba2 kesal ya? Grrrrhhhh…..


Tags: Add new tag

0 Response to "'Visi Indonesia' Sehat Tekan Angka Kematian Ibu Dan Anak ...-balita sehat ceria"

Posting Komentar